JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH EKOLOGI HEWAN

Mata Kuliah

EKOLOGI HEWAN

 

 _MG_1225

 

Dosen Pembina

HUSAMAH, S.Pd

Program Studi

PENDIDIKAN BIOLOGI

Nama Mahasiswa dan NIM/Kelas

ERFY MELANY LALUPANDA 201110070311094 / IV C

 

250118_10150650480695454_147553560453_18955375_4761997_n

 

ROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

APRIL 2013

PETUNJUK PENGERJAAN TAKE HOME

  1. Untuk memahami soal-soal take home ini, sebaiknya Anda berdiskusi dengan teman. Lalu kemudian, silahkan jawab sesuai dengan literatur yang Anda miliki dan sesuai dengan pemahaman masing-masing. Jawaban yang menurut dosen pembimbing memiliki tingkat kesamaan tinggi/mencurigakan maka tidak akan diproses!
  2. Setiap jawaban sebaiknya juga dilengkapi dengan literatur. Jadi, jawab dulu sesuai dengan pemahaman Anda dan dukung dengan literatur! Tuliskan literatur yang anda gunakan pada bagian akhir. Jawaban yg bersumber dari buku dan jurnal ilmiah maka akan ada nilai tambah.
  3. Perhatikan teknik penulisan, banyak sedikitnya salah ketik dan kebakuan kalimat juga menjadi penilaian!
  4. Jawaban ini juga harus di-upload di blog masing-masing. Jika Anda bisa me-linkan jawaban dengan literatur maka ada nilai tambah.

 

 

SOAL

  1. Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan  poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010.
  2. Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!
  3.  Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contoh!
  4. Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!
  5. Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!
  6. Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!

 

 

JAWABAN :

1.  Faktor  pemicu   utama   ledakan populasi  ulat   bulu di Probolinggo  pada tahun 2010 adalah karena perubahan ekosistem yang sangat  ekstrem  pada  ekosistem tumbuhan mangga. Perubahan tersebut di sebabkan oleh beberapa hal, yaitu musim hujan yang panjang pada tahun 2010−2011 yang menyebabkan kenaikan kelembaban udara. Ketika keberadaan musuh alami ulat bulu ini berkurang  maka pemangsa ulat bulu ini juga akan berkurang sehingga populasi ulat bulu akan bertambah. Contoh musuh alami ulat bulu, yaitu semut rangrang dan burung. Ledakan ulat bulu yang terjadi di Probolinggo yang selain disebabkan adanya perubahan lingkungan dan berkurangnya musuh alami adalah karena terjadinya migrasi ngengat ulat dari gunung Bromo karena peristiwa erupsi beberapa waktu yang lalu. Dalam hal ini suhu dan waktu sangat mempengaruhi ledakan populasi ulat bulu.

Dalam kaitannya dengan organisme, maka prinsip dasar yang mengakibatkan suhu dapat mengatur pertumbuhan dan penyebaran organisme adalah terletak pada pengaruh fisik suhu terhadap tubuh organisme. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan rusaknya enzim dan protein lain, dapat menguapkan cairan tubuh, dapat merusak vitamin, dapat merusak sel, jaringan dan organ, dapat merusak permeabilitas membran, dan merusak hormon. Sebaliknya, suhu yang terlalu rendah dapat membekukan protoplasma, dapat menghambat kerja enzim, menghambat kerja hormon, dan menghambat metabolisme (Sukarsono, 2009).

Begon dkk(1986) menuliskan bahwa pengaruh berbagai suhu terhadap hewan ektoterm mengikuti suatu pola tipikal, walaupun ada perbedaan dari spesies ke spesies yang lain. Pada intinya ada tiga kisaran yang menarik perhatian ialah: suhu rendah berbahay, suhu tinggi berbahaya, suhu diantara suhu tinggi dan suhu rendah.

Mahluk ektoterm memasukkan sumberdaya dan melaksanakan metabolisme henya secara lambat pada suhu yang rendah, tetapi pada suhu yang lebih tinggi metabolisme akan lebih cepat. Untuk pertumbuhannya, hewan ektothermal memerlukan kombinasi antara faktor waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan ektothermal tidak dapat tumbuh dan berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun diberikan waktu yang cukup lama. Untuk dapat tumbuh dan berkembang, hewan ektothermal memerlukan suhu lingkungan di atas batas suhu minimumnya maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula sebaliknya. Adanya keterkaitan antara suhu lingkungan dengan waktu tumbuh dan berkembangnya hewan ektothermal disebut sebagai konsep waktu suhu atau waktu fisiologis (Anonim, 2011).

Sumber:

Sukarsono.2009. Pengantar Ekologi Hewan. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang Press.

http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3312125.pdf

http://pertanianblog-pertanianblog.blogspot.com/2011/06/meledaknya-populasi-ulat-bulu-ditinjau.html

2. Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batasannya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat ditentukan. Hal demikian terutama berlaku bagi populasi alami hewan-hewan bertubuh kecil, terlebih yang nocturnal atau tempat hidupnya sulit dijangkau. Maka, digunakan pengukuran tingkat kelimpahan populasi per satuan ruang dari yang ditempati yaitu kerapatannya (kepadatannya). i.  Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran).

Kerapatan populasi suatu spesies hewan adalah rata-rata jumlah individu per satuan luas area (m2, Ha, km2) atau per satuan volume medium (cc, liter, air) atau per satuan berat medium (g, kg, tanah). Dalam hal-hal tertentu. kerapatan lebih memberikan makna bila dinyatakan per satuan habitat atau mirohabitat. Misalnya, sekian individu cacing usus per individu inang atau sekian individu wereng per rumpun padi.

Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu.

Spesies hewan dapat dimasukkan dalam salah satu dari empat kategori berikut:

prevalensi tinggi (=prevalen) dan intensitasnya tinggi

prevalensi tinggi (=prevalen) tetapi intensitasnya rendah

prevalensi rendah (=terlokalisasi) tetapi intensitasnya tinggi

prevalensi rendah (=terlokalisasi) dan intensitasnya rendah.

Badak Jawa dan Jalak Bali bersifat endemic dan merupakan spesies langka yang terancam kepunahan. Kategorisasi status spesies dengan memperhitungkan dua aspek tersebut sangat penting terutama dalam menentukan urutan prioritas perhatian dan untuk melakukan upaya-upaya kelestarian spesies hewan langka yang terancam punah.

Sumber:

http://nenkiuedubio.blogspot.com/2011/05/populasi-hewan.html

3. Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Jadi interaksi spesies merupakan, hubungan timbal balik antar organisme baik dari spesies yang sama maupun dari spesies yang berbeda. Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Persaingan terjadi ketika organisme baik dari spesies yang sama maupun dari spesies yang berbeda menggunakan sumber daya alam. Di dalam menggunakan sumber daya alam, tiap-tiap organisme yang bersaing akan memperebutkan sesuatu yang diperlukan untuk hidup dan pertumbuhannya.

Populasi setiap organisme yang menempati daerah tertentu dan berinteraksi satu dengan yang lainnya di sebut dengan komunitas. Dalam suatu komunitas terdapat berbagai macam makhluk hidup yang menempati tempat tersebut dan membentuk hubungan interaksi saling bergantung antara organisme yang satu dengan yang lain. Dengan demikian makhluk hidup maupun biotik dan abiotiknya saling ketergantungan satu sama lannya, seperti sebatang tumbuhan dan seekor hewan akan terjadi interaksi serta bergantung antara satu sama lainnya.

Interaksi antar populasi dapat dikategorikan dalam parasitisme, parasitoidisme, dalam pengendalian biologis.

Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bila salah satu organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. Biasanya interaksi parasitisme ini dilakukan oleh tumbuhan atau hewan tingkat rendah dengan cara menumpang dan menghisap sari makanan dari hewan atau tumbuhan yang ditumpanginya. Hewan atau tumbuhan yang ditumpangi biasa disebut inang. Pada tumbuhan seperti tumbuhan benalu yang menempel pada pohon.

Parasitoid adalah sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk insect dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa

Biological control merupakan bagian dari pengendalian alami. Faktor pengendalian alami yaitu biotik (hidup) dan abiotik (tidak hidup). Faktor-faktor kontrol biotiktermasuk dampak musuh alami, kualitas dan kuantitas makanan, kompetisi intraspesifik dan interspesifik, dan keperluan tempat atau wilayah. Faktor-faktor kontrol abiotik meliputi cuaca dan faktor fisik lainnya. Faktor kontrol biotik dan abiotik biasanya bekerja bersama untuk membatasi pertumbuhan populasi dengan mengurangi tingkat kelahiran atau meningkatkan mortalitas.

Sumber:

http://novabiological.blogspot.com/2012/04/ekologi-hewan.html

http://3gggue.blogspot.com/2012/04/interaksi-spesies-dan-konsep-komunitas.html

4. Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan adalah nilai religius, nilai sosial dan budaya serta ilmu pengetahuan alam. Pada nilai religius, yang harus ditanamkan adalah bagaimana siswa dapat memaknai keanekaragaman hewan dalam suatu organisme, sebagai karya penciptaan Tuhan yang luar biasa. Meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam nilai sosial dan budaya ada karakter konservasi yang ditanamkan, agar siswa dapat memanfaatkan hewan yang ada di alam berdasarkan pengetahuan akan ekosistemnya untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan ilmu pengetahuan siswa dapat mengerti dan memahami tentang konsep ekologi hewan sebagai suatu ilmu untuk mempelajari ekosistem hewan.

Contoh dalam kehidupan nyata yaitu dalam pembelajaran disekolah dalam menjelaskan konsep ekologi hewan memasukkan unsur-unsur nilai religi, sosial dan budaya kepada siswa. Selain itu juga dengan mengadakan praktek lapang ke kebun binatang dalam pengenalan hewan.

5. Secara umum istilah biomonitoring dipakai sebagai alat/cara yang penting dan merupakan metode baru untuk menilai suatu dampak pencemaran lingkungan. Istilah yang lebih spesifik adalah monitoring biologi (Biological Monitoring). Di dalam praktek penggunaan monitoring biologi (MB) adalah untuk memonitor populasi yang terpapar oleh bahan polutan di tempat kerja maupun di lingkungan. Arisandi (2001) menyatakan bahwa jenis ideal yang dapat digunakan sebagai bioindikator adalah organisme akuatik yang tidak memiliki tulang belakang (makrozoobentos invertebrata).

Hewan makrozoobentos invertebrata merupakan hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat dilihat oleh mata biasa dengan ukuran lebih besar dari 200µm – 500µm (Slack et al., 1973; Weber, 1973; Wiederholm, 1980; Suess, 1982 dalam Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini hidup pada dasar kolam, danau, dan sungai untuk seluruh atau sebagian tahapan hidupnya. Mereka dapat hidup pada batuan, ataupun bergerak bebas pada ruang antar batuan, pada runtuhan bahan organik (Standard Methods, 1989). Kelompok ini merupakan kelompok makrozoobentos yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai macam pencemaran. Seperti yang telah disebutkan, hewan makrozoobentos dapat digunakan menjadi indikator pencemaran dengan beberapa kategori. Beberapa hewan makrozoobentos ada yang memiliki sifat hidup intoleran terhadap pencemaran yang terjadi, contohnya: Ephemeroptera, Plecoptera, Trichoptera. Beberapa jenis yang lain digolongkan fakultatif yaitu dapat hidup pada lingkungan yang bersih sampai tercemar sedikit atau sedang, contohnya: beberapa taxa dari Diptera, Odonata, Coleoptera, Pelecypoda. Sedangkan beberapa jenis yang lain memiliki sifat hidup toleran terhadap berbagai pencemaran yang terjadi pada habitatnya, contohnya: beberapa jenis Diptera, Hirudinae, Oligochaeta. Larva pada ordo Trichoptera umumnya tidak terlalu toleran atau sensitf terhadap pencemaran organik ringan tapi dapat digunakan sebagai indicator perairan yang bersih. Namun pada jenis-jenis dari Ephemeroptera dan Plecoptera sangat sensitif terhadap pencemaran organik. Terhadap pencemaran, seperti pencemaran yang berasal dari industri tekstil atau penyamakan kulit, jenis-jenis pada kelompok ini sangat sensitif.

Makrozoobentos invertebrata memiliki umur yang cukup panjang dan memiliki kontak yang tetap terhadap sedimen sungai sehingga sangat sensitif terhadap kontaminasi dan toksisitas yang terjadi pada sedimen sungai. Sebagai bioindikator, biota makrozoobentos invertebrata dapat memenuhi tujuan pemantauan kualitas air yang hakiki, yaitu: dapat memberikan petunjuk telah terjadi penurunan kualitas air, dapat mengukur efektivitas tindakan penanggulangan pencemaran, dapat menunjukkan kecenderungan untuk memprediksi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang. Sehingga pemantauan kualitas air sungai dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan pada satwa-satwa yang ada di sungai.

Sumber:

http://jujubandung.com/2012/06/04/makrozoobentos-sebagai-bioindikator-kualitas-air-2/

http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/16/lintah-hirudo-medicinalis-sebagai-bioindikator-pencemaran-lingkungan-perairan-tawar-393972.html

6. Pengetahuan tentang relung suatu organisme sangat perlu sebagai landasan untuk memahami berfungsinya suatu komunitas dan ekosistem dalam habitat utama. Untuk dapat membedakan relung suatu organisme, maka perlu diketahui tentang kepadatan populasi, metabolisme secara kolektif, pengaruh faktor abiotik terhadap organisme, pengaruh organisme yang satu terhadap yang lainnya.

Apabila terdapat dua hewan atau lebih mempunyai niche yang sama dalam satu habitat yang sama maka akan terjadi persaingan. Dalam persaingan yang ketat, masing-masing jenis mempertinggi efisiensi cara hidup, dan masing-masing akan menjadi lebih spesialis yaitu relungnya menyempit.

Relung ekologi suatu hewan ( individu, populasi) adalah status fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologi, structural dan pola prilakunya (Sukarsono, 2009). Konsep relung (niche) dikembangkan oleh Charles Elton (1927) ilmuwan Inggris, dengan pengertian relung adalah “status fungsional suatu organisme dalam komunitas tertentu”. Dalam penelaahan suatu organisme, kita harus mengetahui kegiatannya, terutama mengenai sumber nutrisi dan energi, kecepatan metabolisme dan tumbuhnya, pengaruh terhadap organisme lain bila berdampingan atau bersentuhan, dan sampai seberapa jauh organisme yang kita selidiki itu mempengaruhi atau mampu mengubah berbagai proses dalam ekosistem.

Salah satu contoh hewan langka dengan relungnya adalah Tapir Sumatera. Tapir Sumatera merupakan hewan penyendiri, menandai jalur-jalur besar di darat sebagai teritori atau daerah kekuasaannya, meski daerah ini biasanya bertumpang tindih dengan daerah kekuasaan individu lain. Tapir menandai teritorinya dengan mengencingi tetumbuhan dan mereka sering mengikuti jalur lain dari yang telah mereka buat yang telah ditumbuhi tumbuhan. Binatang ini vegetarian, ia mencari makan berupa umbi empuk dan daun-daunan dari lebih dari 115 jenis tumbuhan (ada kira-kira 30 yang terutama disukainya), bergerak lambat di hutan dan berhenti untuk makan dan memperhatikan bau yang ditinggalkan tapir lain di daerah itu.  Akan tetapi, bila merasa terancam, tapir dapat lari dengan cepat meskipun bertubuh besar, dan mereka juga dapat membela diri dengan rahang kuat serta gigi tajamnya.

Tapir adalah jenis hewan herbifora yaitu hewan pemakan daun-daun muda dan tumbuhan-tumbuhan bawah di hutan hujan primer pada vegetasi yang padat pinggiran hutan atau disepanjang pinggiran sungai. Dari ciri morfologinya Tapir adalah hewan yang unik. Penyebaran populasi Tapir yaitu Asia Tenggara, sebelah selatan Myanmar sepanjang batas menuju selatan – barat Thailand, Semenanjung Malaya dan Sumatera. Tinggi Tapir mencapai ± 100 cm, panjang badan mencapai 250 cm dan berat mencapai 260 kg – 375 kg. Umur Tapir hidup dialam bebas dengan kondisi alam/ habitat yang baik bisa mencapai 30 tahun.

Dahulu, tapir dapat ditemukan diseluruh hutan hujan dataran rendah. Namun populasinya menurun tahun-tahun belakangan ini, dan seperti jenis-jenis tapir lainnya juga terancam kepunahan. Karena ukurannya, tapir memiliki sedikit pemangsa alami, bahkan tapir jarang dimangsa oleh harimau. Ancaman utama bagi tapir adalah kegiatan manusia termasuk penebangan hutan untuk pertanian, banjir akibat dibendungnya sungai untuk membuat pembangkit listrik tenaga air, dan perdagangan illegal. Di daerah seperti Sumatera, dimana populasinya kebanyakan Muslim, tapir jarang diburu untuk dimakan karena kemiripan tubuhnya dengan babi membuat daging tapir tabu, namun di beberapa daerah mereka diburu untuk olahraga atau tidak sengaja tertembak karena dikira binatang lain. Karena perburuan liar dan habitatnya yang semakin berkurang akibat pembukaan hutan secara liar, mengakibatkan hewan ini tergolong langka.

Sumber:

Sukarsono.2009. Pengantar Ekologi Hewan. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang Press.

http://phanjoel.wordpress.com/2009/11/10/tapir-sumatera/

 

         

 

 

Jenis-Jenis Ikan Wader

Ikan wader (famili Cryprinidae) mempunyai berbagai macam jenis. Tidak sedikit dari spesies  ikan Wader  yang merupakan spesies endemik. Beberapa jenis spesies wader diantaranya adalah:

Rasbora argyrotaenia (Silver Rasbora), Rasbora aurotaenia (Pale Rasbora), Rasbora baliensis, Rasbora bankanensis, Rasbora beauforti (Spotlight Rasbora), Rasbora einthovenii (Blue Line Rasbora), Rasbora jacobsoni, Rasbora kalbarensis (Kalbar Rasbora), Rasbora sumatrana (Sidestripe Rasbora), Rasbora tawarensis, Rasbora tobana, Puntius bantolensis, Puntius javanicus, Puntius binotatus, dan Rasbora argyrotaenia.

1. Wader bintik-dua (Puntius binotatus)

Klasifikasi :

Kerajaan    :Animalia

Filum         :Chordata

Kelas         :Actinopterygii

Ordo          :Cypriniformes

Famili        :Cyprinidae

Genus        :   Puntius

Spesies      : Puntius binotatus

Morfologi

            Ikan wader jenis ini berukuran kecil-sedang, panjang total (dengan ekor) umumnya hingga 100mm; jarang lebih besar, namun dapat mencapai 170mm. Bersungut empat di ujung moncongnya, dan dengan gurat sisi yang sempurna (tidak terputus) berjumlah 23-27. Sirip dorsal (punggung) dengan 4 duri dan 8 jari-jari lunak; duri yang terakhir bergerigi di belakangnya. Awal sirip dorsal berjarak 4½ sisik dengan gurat sisi. Warna dan bentuk tubuh ikan ini amat berubah-ubah. Kebanyakan berwarna abu-abu kehijauan, zaitun, atau keperakan, dengan warna yang lebih gelap di bagian punggung berangsur-angsur memucat dan keputihan di sisi dada dan perut. Dua bintik besar biasa terdapat, yakni di pangkal sirip dorsal dan di tengah batang ekor (peduncle). Di samping itu, pada ikan-ikan yang muda sering pula terdapat 1-3 bintik tambahan di tengah badan yang terletak pada sebuah coret samar memanjang di sisi tubuh di belakang tutup insang, dan satu bintik di awal sirip anal. Bintik-bintik ini umumnya akan memudar dan menghilang pada spesimen-spesimen yang besar.

Habitat

            Di alam, wader bintik-dua ditemukan mulai dari dekat pantai hingga ketinggian sekitar 2.000 m dpl. Ikan ini sering ditemukan bercampur dengan spesies wader lainnya di parit-parit dangkal yang jernih, sungai kecil di pegunungan, sungai berukuran menengah hingga yang besar, saluran yang mengalir lambat, dan bahkan juga situ dan danau. Wader ini cenderung bersifat omnivora, memakan mulai dari plankton, larva serangga, hingga ke serpih-serpih tumbuhan hijau. Kondisi lingkungan alaminya adalah perairan tropika dengan pH antara 6.0–6.5 (agak asam), kesadahan air sekitar 12.0 dGH, dan kisaran suhu antara 24–26 °C (75–79 °F).

            Wader bintik-dua memijah di perairan terbuka pada saat menjelang gelap. Setiap kali bertelur, ikan ini menyebarkan antara 200–500 butir telur di antara tumbuh-tumbuhan air. Telur-telur ini akan menetas sekitar 48 jam kemudian, dan selama beberapa hari berikutnya burayak (anak ikan) akan berlindung di sela-sela daun tanaman air. Ikan wader dewasa tidak akan segan-segan untuk memangsa telur ataupun burayak dari jenisnya sendiri.

 2. Wader Pari atau Lunjar Padi (Rasbora argyrotaenia)

Berkas:Lunjar 070909 0180 rwg.jpg

Klasifikasi :

Kerajaan    : Animalia

Filum         : Chordata

Kelas         : Actinopterygii

Ordo          : Cypriniformes

Famili        : Cyprinidae

Genus        : Rasbora

Spesies      : Rasbora argyrotaenia

Morfologi dan Habitat

            Ikan wader pari atau lunjar padi biasa disebut juga sebagai wader, wader pari, lunjar andong (Jawa), cecereh, ikan cere (Betawi), paray (Sunda), pantao, seluang (Sumatera), seluang (Kalimantan). Spesies wader pari atau lujar padi (Rasbora argyrotaenia). Ikan lunjar padi memiliki panjang maksimal 17 cm . Tubuhnya berwarna kuning keemasan di bagian atas dan berwarna putih keperakan di bagian bawah. Ikan wader pari atau lunjar padi biasa hidup di parit-parit yang dangkal hingga danau dan sungai yang mempunyai air jernih.

Sumber:

http://alamendah.org/2010/06/08/ikan-wader-jenis-macamnya/comment-page-5/

Cara Makan Ikan Wader

Ikan ini memiliki ukuran kecil sebesar jari kelingking dan yang paling besar bisa mencapai ukuran 2 jari manusia. Ikan wader di alam liar memakan semua makanan yang ada di alam alias omnivora. Ikan ini  makan berbagai jenis makanan seperti telur ikan lain, lumut dan berbagai jenis serangga air. Ikan wader termasuk ikan yang rakus bahkan besifat karnivora karena ia juga makan telur ikan wader lainnya yang ada di perairan.

Sumber:

http://www.iftfishing.com/fishypedia/wader/

Habitat Ikan Wader

wader

      Ikan wader adalah jenis ikan air tawar yang paling gampang ditemukan di kolam – kolam dan waduk ataupun sungai yang airnya jernih. Ikan wader termasuk dalam suku Cyprinidae dan terdapat di perairan tawar di seluruh nusantara

      Di seluruh dunia diperkirakan terdapat lebih dari seratus jenis (spesies) wader dari sekitar belasan Genus. Beberapa spesies ikan wader yang yang kita kenal adalah wader pari (lunjar padi), wader bintik dua, dan beberapa jenis lainnya yang biasa disebut dengan wader saja.  Ikan wader secara umum tersebar di Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Lombok dan Bali), Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, Brunei Darusalam, hingga ke India dan sebagian China.